HAJI MABRUR SANG PENJUAL SEPATU

00 sesak

HAJI MABRUR SANG PENJUAL SEPATU

By Eep Khunaefi

 

Banyak orang yang naik haji tapi tidak mabrur. Namun, ada orang yang belum naik haji, tapi sudah mendapatkan pahala haji mabrur, seperti yang dialami oleh sang penjual sepatu ini.

Kisah ini diambil dari buku “Warisan Para Awliya” karya Farid al-Din Attar. Edisi Inggrisnya berjudul “Muslim Saints and Mystics: Episodes from the Tadhkirat al-Auliya (Memorial of the Saints).” Sebut saja namanya Abdullah bin al-Mubarak. Karena orang kaya, ia termasuk orang yang selalu menunaikan ibadah haji dan jihad di jalan Allah. Tahun ini naik haji dan tahun berikutnya berangkat berjihad. Demikianlah secara selang-seling selalu dilakukannya betapapun sibuk menderanya.

Maka tibalah tahun saatnya Abdullah bin al-Mubarak berangkat haji. Setelah bekerja keras Abdullah bin Mubarak berhasil mengumpulkan bekal tak kurang 500 dinar uang emas. Dari kediamannya di Hijaz beliau pun berangkat menuju Makkah al-Mukarramah. Pada suatu waktu, setelah menyelesaikan ritual ibadah haji, dia tertidur dan bermimpi melihat dua malaikat yang turun dari langit.

“Berapa banyak yang datang tahun ini?” tanya malaikat kepada malaikat lainnya.

“600.000,” jawab malaikat lainnya.

“Berapa banyak mereka yang ibadah hajinya diterima?”

“Tidak satupun”

Percakapan ini membuat Abdullah bin al-Mubarak gemetar. “Apa?” Abdullah tersentak kaget dalam mimpinya dan ia pun menangis. “Semua orang-orang ini telah datang dari belahan bumi yang jauh, dengan kesulitan yang besar dan keletihan di sepanjang perjalanan, berkelana menyusuri padang pasir yang luas, dan semua usaha mereka menjadi sia-sia?” ujarnya.

“Ada seorang tukang sepatu di Damaskus yang dipanggil Ali bin Muwaffaq. “Dia tidak datang menunaikan ibadah haji, tetapi ibadah hajinya diterima dan seluruh dosanya telah diampuni,” ujar malaikat pertama.

Ketika Abdullah Ibnu Mubarak mendengar percakapannya itu, maka terbangunlah ia dari tidurnya dan langsung berangkat menuju Damaskus untuk mencari orang yang bernama Ali bin Muwaffaq itu. Dia telusuri seluruh penjuru kota sampai tempat tinggal Muwaffaq berhasil beliau temukan. Dan ketika diketuk pintunya, keluarlah seorang lelaki dan segera ia bertanya tentang namanya.

“Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh!” Sapa Ibnu Mubarak sambil mengetuk pintu. “Siapakah namamu dan pekerjaan apa yang kamu lakukan?” Tanya Ibnu al-Mubarak kepada lelaki yang ditemuinya.

“Aku Ali bin Muwaffaq, penjual sepatu. Siapakah Anda?”

Kepada lelaki itu Ibnu al-Mubarak menerangkan jadi dirinya dan maksud kedatangannya. Setelah tahu siapa yang datang serta maksud dan tujuannya tiba-tiba Muwaffaq menangis dan jatuh pingsan.

Ketika sadar, Ibnu Mubarak memohon agar Muwaffaq berkenan untuk menceritakan semua yang dia alami terkait dengan hajinya. Ali bin Muwaffaq pun kemudian bercerita:

“Selama 40 tahun aku telah rindu untuk melakukan perjalanan haji ini. Aku telah menyisihkan 350 dirham dari hasil berdagang sepatu. Tahun ini aku memutuskan untuk pergi ke Mekkah, sejak istriku mengandung. Suatu hari istriku mencium aroma makanan yang sedang dimasak oleh tetangga sebelah, dan memohon kepadaku agar ia bisa mencicipinya sedikit. Aku pergi menuju tetangga sebelah, mengetuk pintunya kemudian menjelaskan situasinya. Tetanggaku mendadak menagis.

“Sudah tiga hari ini anakku tidak makan apa-apa,” katanya. “Hari ini aku melihat keledai mati tergeletak dan memotongnya kemudian memasaknya untuk mereka. Ini bukan makanan yang halal bagimu.” Hatiku serasa terbakar ketika aku mendengar ceritanya. Aku mengambil 350 dirhamku dan memberikan kepadanya. “Belanjakan ini untuk anakmu,” kataku. “Inilah perjalanan hajiku.”

“Malaikat berbicara dengan nyata di dalam mimpiku dan Penguasa kerajaan surga adalah benar dalam keputusan-Nya,” ujar Abdullah berusaha membenarkan mimpinya.

Demikian kisah nyata yang terjadi pada seorang penjual sepatu beberapa ratus tahun yang lalu, yang dikisahkan melalui mulut Abdullah bin al-Mubarak. Meski tak pernah berhaji, tetapi ia telah mendapatkan pahala seperti haji mabrur karena keikhlasannya berbagi kepada tetangga, yang sebenarnya uang itu dipergunakan untuk ongkos hajinya ke Mekkah tahun itu. Subhanallah!

Abdullah bin al-Mubarak sendiri bukanlah orang sembarangan. Nama aslinya adalah Abu Abdurrahman Abdullah bin al-Mubarak al-Hanzhali al Marwazi, lahir pada tahun 118 H/736 M. Ia adalah seorang ahli Hadits yang terkemuka dan seorang petapa termasyhur. Ia sangat ahli di dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan, antara lain di dalam bidang gramatika dan kesusastraan. Ia adalah seorang saudagar kaya yang banyak memberi bantuan kepada orang-orang miskin. Ia meninggal dunia di kota Hit yang terletak di tepi sungai Euphrat pada tahun 181 H/797 M.

Meski begitu, kenapa malaikat yang diimpikannya tidak memasukkannya ke dalam golongan orang yang berhaji Mabrur. Padahal, dia adalah seorang yang kaya dan dermawan. Dia juga seorang yang berilmu. Tapi, bagaimana bisa ia tidak mendapatkan pahala haji mabrur, seperti yang diimpikannya.

Inilah rahasia terbesar dari ibadah haji. Orang kaya dan berilmu tidak menjamin hajinya akan mabrur. Sebaliknya, orang yang miskin dan kadang disepelekan orang, namun bisa mendapatkan gelar haji mabrur. Ternyata, yang membedakan keduanya adalah hati, yaitu keikhlasan untuk berangkat ibadah haji dan proses yang dilaluinya sebelum berangkat ke sana.

Bagi Ali bin Muwaffaq, uang 350 dirham tidaklah sedikit dan itu diperolehnya dalam rentang waktu 40 tahun. Bayangkan saja, itu bukanlah waktu yang singkat. Namun, ketika uang itu sudah terkumpul dan hendak pergi ke tanah suci, justru ia sedekahkan kepada orang lain yang lebih membutuhkan. Subhanallah!

Adakah orang seperti dia sekarang ini? Hampir jarang ditemukan, kalau malah dibilang tidak ada. Yang ada, orang kaya justru ingin selalu pergi haji setiap tahun, tapi tetangga sebelah kanan dan kiri pada kelaparan. Karena itu, langkah yang paling bijak adalah antara ibadah sosial (horizontal) dan ibadah spiritual (vertikal) harus seimbang.

Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi menegaskan bahwa ibadah haji adalah bagian ibadah unik dan berbeda, karena merupakan ibadah fisik dan harta sekaligus. Shalat dan shaum adalah dua ibadah fisik. Sedangkan zakat merupakan ibadah harta. Ibadah haji menggabungkan dua hal tersebut. Karena manusia yang berangkat ibadah haji pasti mencurahkan kekuatan fisiknya dan mempersiapkan hartanya, karena orang yang menunaikan ibadah haji pada dasarnya sedang melaksanakan ibadah safar dan rihlah yang pasti membutuhkan biaya-biaya.

Ya, ibadah haji memiliki keistimewaan sendiri karena ia menggabungkan antara ibadah fisik dan harta sekaligus. Karena itu, tidak semua orang bisa berangkat ke tanah suci. Sebab itulah, Allah hanya membebankan sekali seumur hidup untuk bisa naik haji, itu pun hanya bagi orang yang mampu saja.

Dalam satu hadits diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW berpidato dengan menyatakan: “Hai manusia! Allah telah mewajibkan haji atasmu, maka tunaikanlah“. Seorang sahabat bertanya: “Apakah setiap tahun ya Rasulullah?” Nabi diam, hingga orang itu mengajukan pertanyaannya tiga kali. Kemudian Nabi bersabda: “Andaikan saya katakan “ya”, maka akan menjadi wajib, sedang kamu tak akan sanggup memenuhinya” (HR. Bukhari dan Muslim).

Meskipun kewajiban haji hanya sekali seumur hidup, namun menunaikannya harus dilakukan sesegera mungkin apabila kemampuan sudah dimiliki.

Satu hal yang penting, bahwa naik haji janganlah dijadikan sebagai “ajang gengsi”. Sebab, seperti kisah di atas, banyak orang yang naik haji, tapi tak satu pun yang mendapatkan pahala haji mabrur. Karena itu, sebelum berangkat ke sana, bersihkan hati kita dan tekadkan niat berhaji hanya untuk mencari ridha Allah SWT. !!!